Tak banyak yang mengetahui bahwa dahulu di Cianjur pernah ada sebuah sajian pertunjukan wayang unik, yaitu Wayang Lilingong. Mendengar namanya saja mungkin cukup aneh jika dibandingkan dengan jenis pertunjukan wayang lain seperti wayang kulit atau wayang golek. Ya, namanya memang unik dan sejarah pergelarannya juga menarik untuk ditelusuri.
Sumber Informasi
Informasi sejarah wayang lilingong ini diadaptasi dari hasil penelitian Aditia Gunawan dan Evi Fuji (2019) Fauziyah yang telah dibuplikasikan sebelumnya berupa suntingan dan terjemahan dari naskah Carios Asal-usul Wayang Lilingong Sareng Lalakon-lalakonna (CAWLSL)koleksi Perpustakaan Nasional RI bernomor SD 211. Naskah ini ditulis oleh R.O. Natadisastra pada 27 Mei 1928 atas perintah Professor Dr. B. Schrieke, seorang Konservator di Museum Batavia Genostchaap. Naskah ini merupakan catatan hasil kunjungan Natadisastra pada tanggal 5 Mei 1928 ke Cianjur. Dalam kunjungannya itu, selain didapatkan keterangan mengenai seluk-beluk wayang lilingong, perangkat musiknya pun dapat dibawa dan menjadi hak milik museum Museum Batavia Genostchaap.
R.O. Natadisastra sendiri mengakui bahwa bagian mengenai lakon tambahan dikutip dari tulisan yang dimuat di Poesaka Soenda No. 13 (1925, halaman 263) yang terbit pada tahun 1925. Melihat redaksi tulisan dalam Peosaka Soenda yang sangat dekat, mungkin saja keduanya ditulis oleh Natadisastra. Ada kemungkinan juga bahwa setelah Natadisastra menulis tentang Wayang Lilingong dalam Poesaka Soenda, B. Schrieke yang bertugas sebagai konservator di Museum Batavia Genootschap meminta Natadisastra untuk menuliskan deskripsi tentang Wayang Lilingong dengan lebih rinci sekaligus menyelamatkan artefak wayangnya untuk disimpan di Museum Batviaasch Genootschap. Dan rupanya misi itu berhasil.
Sejarah Perkembangan
Pada bagian awal naskah CAWLSL penulis menceritakan asal-usul wayang lilingong yang hanya ditemukan di Cianjur, tepatnya di kampung Pasir Gombong, desa Sukamanah, distrik Pacet, Cianjur. Disebutkan pula bahwa wayang lilingong dibawa oleh tiga orang pelarian dari Bali, yaitu Pa Kidin, Pa Kimin, dan Pa Rati ketika Cianjur diperintah oleh Dalem Condre (maksudnya Dicondre, Aria Wiratanudatar III, 1707–1726). Namun menurut Poesaka Soenda, ketiganya tinggal di pinggiran kota yang disebut kampung Pondok Bali, dekat kampung Pameungpeuk, desa Cijedil, bawahan distrik Pacet, yang berjarak sekitar 4 pal dari pusat kota Cianjur.
Wayang mereka buat di sela-sela kesibukan mereka menggarap tanah yang diberikan oleh pembantu bupati. Bahan pembuatannya mula-mula dari upih, kemudian mereka juga membuat alat-alat musiknya berupa kendang dan gambang. Pertunjukan wayang dimulai setelah waktu isa. Mula-mula hanya tetangga-tetangga dekat saja yang datang menonton, tetapi lama kelamaan pertunjukan wayang ini semakin terkenal, hingga beritanya sampai kepada bupati dan diundang untuk ditampilkan di kabupaten. Rupanya bupati menyukai wayang yang ditampilkan oleh Pak Kidin dan kedua rekannya, sehingga bupati memberikan bahan kulit kerbau untuk menggantikan bahan sebelumnya.
Selepas Pak Kidin dan rekan-rekannya meninggal, pertunjukan wayang lilingong dilanjutkan oleh gulang-gulang bupati. Identitas gulang-gulang ini tidak disebutkan di dalam teks, namun dalam keterangan berikutnya dijelaskan bahwa wayang ini dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Boncel. Sepeninggalan Boncel, kemudian digantikan ole putra sulungnya yang bernama Amsiin, lalu oleh adik Amsiin yang bernama Emod. Setelah Emod meninggal duni kemudian dilanjutkan oleh Arnawi, yang sudah mempraktekkan wayang lilingong sejak tahun 1920.
PerlengkapanPertunjukan & Instrumen Musik
Perlengkapan yang digunakan dalam pertunjukan wayang lilingong tidak berbeda jauh dengan alat pertunjukan wayang kulit biasa, yaitu balencong, layar dari kain dengan ukuran sekitar 1×2 meter. Ketinggian balencong, sekitar satu jengkal dari kepala dalang, sedangkan jarak dari layar sekitar satu jengkal lebih sedikir, sehingga ketika digulungkan tidak terlalu jauh atau terlalu dekat, jadi bayangan wayangnya sedang.
Mengenai instrumen musik wayang lilingong pada mulanya hanya terdiri dari satu kendang dan dua gambang dari bambu. Bunyi tetabuhan baik gambang dan kendangnya terdengar seperti bunyi “tiliktik”, sehingga ada pula yang menyebut pertunjukan wayang ini sebagai “wayang kilitik”. Dalam perkembangannya, ditambah dengan rebab dan gong bambu (celempung). Lagu-lagu yang disajukannya pun semakin bertambah.
Terdapat tujuh lagu khusus untuk mengiringi adegan-adegan tertentu, yaitu:
- Manggungkeun, pada saat mulai manggung.
- Murwa, ketika menancapkan gegunungan.
- Angkatan, untuk mengganti adegan.
- Balapéka, untuk keberangkatan pasukan menuju peperangan.
- Balaganjur, waktu keluar para raksasa dan ponggawanya.
- Papalakon, untuk iring-iringan atau memberikan persembahan.
- Takol dua, lagu khusus berperang.
Karakter Wayang
Secara fisik, bentuk wayang lilingong sebagian menyerupai wayang kulit Bali, tetapi di bagian lain mirip wayang kulit Jawa. Penggarapan ornamennya rupanya jauh lebih sederhana: tatahannya kasar, dan hanya menggunakan tiga warna untuk mewarnai wayang, yaitu hitam, kuning, dan merah. Berikut ini beberapa perbandingan bentuk wayang kulit Jawa, wayang lilingong dan wayang kulit Bali.
Lakon
Lakon-lakon wayang lilingong yang tercatat dalam naskah yaitu lakon Tambakan, lakon Dermada, Wanda Giri, Mupu Kembang, lakon Tigasan, lakon Sinduraja, dan Ngaruat. Bagian ngaruat (ruatan) rupanya lebih panjang dari lakon-lakon lain karena diterangkan pula persyaratan, objek ruatan, hingga waktu yang tepat untuk ruatan. Naskah memuat tujuh lakon, sementara Poesaka Soenda lima lakon. Lakon-lakon yang terdapat dalam naskah tetapi tidak dicantumkan dalam Poesaka Soenda adalah lakon Sinduraja dan Ngaruat. Sebaliknya, dalam Poesaka Soenda terdapat Lakon Arjuna Dipanjara ku Buta Madusanda, sementara dalam naskah lakon ini tidak ada. Lakon Dermada dijuduli Bima Dipanjara dalam Poesaka Soenda. Dengan demikian, dalam suntingan Aditia Gunawan dan Evi Fuji Fauziyah ini tercatat delapan lakon wayang lilingong.
Persyaratan dan Alur Pertunjukan
Dalam setiap pertunjukan wayang lilingong persyaratan yang harus disediakan yaiu beras sekitar satu kulak atau semampunya, satu ekor ayam, satu butir kelapa, dan kukusan (pembakaran menyan). Semuanya disimpan di hadapan dalang. Untuk lakon Ngaruat persyaratannya berbeda, yaitu kue 7 jenis (kupat, tangtang angin, ulen, wajit, peuyeum, borondong, jawadah, dan sebagainya), pisang 7 jenis, rujak 7 jenis, tebu 2 batang atau lebih, pinang dengan bunga mayangnya, dan padi dua ikat.
Ketika akan memulai pertunjukan, dalang duduk di tempat yang telah disediakan, kemudian merapalkan rajah sambil ngukus (membakar wewangian) hingga berasap. Ada dua jenis rajah yaitu untuk pembuka, tetapi untuk memulai pertunjukan cukup menggunakan satu saja di antara keduanya. Setelah rajah selesai dirapalkan, lalu dalang menaikkan wayang ke panggung. Setelah itu dalang melantunkan kata-kata pakeman kemudian mulailah mengisahkan lakon wayang.
Bahasa yang digunakan pada saat pertunjukan wayang beragam. Ketika tokoh kesatria atau para menak yang bicara digunakan bahasa Sunda bercampur bahasa Jawa dan Bali, sedangkan untuk bangsa panakawan atau buta (raksasa) digunakan bahasa Sunda kasar. Selain itu setiap karakter buta akan berbicara harus selalu dimulai dengan perkataan “iling ngong”, yang artinya “ini saya” atau “kata saya”. Perkataan “iling ngong” sangat sering terdengar sepanjang pertunjukan sehingga pertunjukan ini dikenal dengan “wayang lilingong”.
Peminat seni dan tradisi Sunda, peneliti nakah Sunda kuno. Koordinator bidang dokumentasi dan publikasi Perceka Art Centre.