“Duli baginda, Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa, beginilah sejauh saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan Asuji; harinya tungle, kaliwon, Rabu, pada waktu Pahang dalam tahun 918 penanggalan Saka. Dan sekarang ialah mawulu, wage, Kamis dalam wuku Madangkungan, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan Karttika. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari. Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang oleh urusan lain. Menterjemahkan cerita ini kedalam bahasa Jawa kuno minta waktu yang cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.”
Kutipan akhir yang terselip dalam Wirataparwa, satu dari serangkaian parwa-parwa yang diterjemahkan secara besar-besaran pada akhir abad kesepuluh, menandai munculnya masa pencerahan peradaban Nusantara. Kisah-kisah Mahabharata dalam bahasa Sanskerta diterjemahkan secara sistematis, terencana, dan bertujuan ke bahasa Jawa kuno untuk dibacakan secara berurutan dalam perjamuan di alun-alun Kediri.
Para kawi, raja, dan rakyat untuk pertama kalinya duduk bersama bermalam-malam sejak 14 Oktober hingga 12 November 996 yang diikat dalam perayaan bersama mendengarkan naskah dibacakan, mengolah bahasa, dan memperkaya budi.
Peristiwa bersejarah yang berlangsung seribu tahun silam itu yang ingin disuguhkan kembali dalam Festival Kalangwan dalam konteks masyarakat kontemporer Indonesia oleh Yayasan Garuda Wisnu Kencana.
Acara yang dibuka pada 14 Oktober 2010 di Newseum Indonesia, Jakarta Pusat, dan berlangsung sebulan kurang sehari itu, menyuguhkan serangkaian acara. Antara lain pemberian Anugerah Dharmawangsa, simposium, lokakarya, pameran, hingga pertunjukan seni seperti musik kakawin dari Ayu Laksmi, Cok Sawitri, dan Dayu Ani dari Jawa-Bali maupun Tari Pinasthi dan Dian Islami dari Sunda.
Anugerah Dharmawangsa
Dalam Festival Kalangwan ini juga Garuda Wisnu Kencana menganugerahkan penghargaan Anugerah Dharmawangsa kepada karya sastra atau buku yang melakukan penjelajahan kreativitas dengan bersandar pada kisah atau serat babad lampau dengan bahasa pengungkapan masa kini.
Untuk Prosa, Anugerah Dharmawangsa diberikan kepada Sutasoma karya Cok Sawitri yang merekam kembali teks abad ke-13 dengan merekonstruksi ulang bagaimana moralitas kekuasaan bekerja dalam bentuk pengungkapan novel kontemporer.
Sementara kategori Puisi diberikan kepada Ibumi: Kisah-Kisah Negeri di Bawah Angin yang merupakan upaya bersama yang dikerjakan kelompok Penyair Nusantara dengan mengembangkan penulisan puisi yang bersandar pada cerita-cerita rakyat pada ungkapan puitik semasa.
Adapun bidang Kritik atau Esei, Anugerah Dharmawangsa diserahkan kepada Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Buku yang disunting Henri Chambert-Loir ini dianugerahi lantaran upayanya lewat penjelajahan ekstensif atas sejarah praktik penerjemahan dan penyaduran naskah di Nusantara yang bukan saja mutu kajian, melainkan upaya kolaboratif yang dilakukannya.*
——————————————
• Siaran Pers Penyelenggaraan: Selasa, 12 Oktober 2010, Pkl 15.00, Newseum Indonesia, Jl Veteran I/31, Monas, Jakarta Pusat
• Pemberian ‘Anugerah Dharmawangsa’ dan Seni Pertunjukan Kakawin Sunda-Jawa-Bali: Kamis, 14 Oktober 2010, Pkl 20.00, Newseum Indonesia, Jl Veteran I/31, Monas, Jakarta Pusat
Penyelenggara: Yayasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) bekerjasama dengan Newseum Indonesia
http://www.indonesiakreatif.net