Dari: cetak.kompas.com
Selasa, 2 Februari 2010 | 03:00 WIB
Oleh:A Handoko
Rakyat adalah segala-galanya bagi negara. Tanpa rakyat, negara bukan apa-apa. Sayangnya, rakyat sering kali sulit menentukan arah negara. Kekuatan rakyat yang sedemikian besar lebih sering dikalahkan oleh kekuatan segelintir orang yang berada di lingkaran kekuasaan dalam menentukan arah negara.
Begitulah keyakinan yang dimiliki Kang Atang, seniman Sunda yang memiliki nama lengkap Tatang Setiadi. Keyakinan itulah yang membawa dia menjadi seniman Sunda. Dia amat setia pada rumpun tari rakyat.
”Rumpun tari rakyat bisa menjadi semacam ekspresi perlawanan,” ujar Kang Atang.
Salah satu tarian dari rumpun tari rakyat yang dihidupi Kang Atang adalah ketuk tilu.
”Ketuk tilu itu jenis tarian rakyat Sunda yang amat tua. Dari berbagai literatur, saya memperkirakan tarian itu sudah ada sebelum zaman Hindu-Buddha. Awalnya (ketuk tilu) berkembang di daerah pesisir yang kini masuk wilayah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, serta daerah pedalaman yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor,” katanya.
Sebagai rumpun tari rakyat, ketuk tilu adalah tarian pergaulan. ”Ketuk tilu merupakan ekspresi kegembiraan masyarakat. Kesenian itu biasanya digelar ketika warga mengadakan syukuran dan semacamnya,” ujar Kang Atang.
Walaupun berkarakter sebagai tarian pergaulan yang mengekspresikan kegembiraan, ketuk tilu berkembang dari dasar seni bela diri pencak silat. ”Semangat perlawanan ketuk tilu mulai terasa ketika pemerintah Kolonial melarang seni bela diri pencak silat untuk meredam perlawanan rakyat. Seni bela diri pencak silat lalu dikembangkan secara lebih halus dalam gerakan-gerakan tarian ketuk tilu,” ujarnya.
Sekitar tahun 1980-an, ketuk tilu berkembang menjadi tari jaipongan. Tatang memaknai perubahan dan perkembangan itu sebagai sebuah bentuk kreasi dan adaptasi. ”Orang zaman purba menggunakan pakaian dari kulit pohon, tetapi kemudian peradaban modern menggeser cara berpakaian itu seperti sekarang ini. Seperti itu juga kira-kira yang terjadi dengan ketuk tilu yang lalu menjadi jaipong,” katanya.
Kendati memahami adaptasi dalam jaipong, Kang Atang mengaku masih tetap memelihara dan melestarikan ketuk tilu.
”Tarian yang beradaptasi biarlah tetap beradaptasi. Tetapi, (tarian) warisan dari nenek moyang juga tetap harus dilestarikan,” ujar Kang Atang memberi alasan.
Duta kebudayaan
Ketertarikan Kang Atang terhadap rumpun tari rakyat sudah dimulai sejak masa kecilnya. Kedua orangtuanya adalah seniman Sunda sehingga darah seni pun mengalir dalam diri Kang Atang.
Selepas Konservatori Karawitan Bandung, setingkat sekolah menengah atas, Kang Atang tidak melanjutkan pendidikan formal. Dia memilih berguru kepada para seniman Sunda, di antaranya Ali Syahban.
Pelajaran dari para seniman Sunda itulah yang kemudian mengantarkan Kang Atang menjadi penari Sunda profesional sejak tahun 1972. Berbagai pergelaran tari di banyak tempat di Indonesia sudah dia ikuti.
Kang Atang yang termasuk salah seorang Perumus Rancangan Undang-undang Pelestarian Adat se-Indonesia itu sering berkeliling ke sejumlah negara di Asia Tenggara dan Eropa untuk pentas rumpun tari rakyat Sunda. Beberapa kali dia menjadi duta kebudayaan Indonesia di pentas dunia.
Selain menekuni keahliannya di bidang rumpun tari rakyat, Kang Atang juga menguasai hampir semua jenis kesenian Sunda. Sudah 1.000 lebih naskah drama, pidato, dan dongeng berbahasa Sunda yang dia hasilkan selama ini. Lagu-lagu berbahasa Sunda yang dibuatnya mencapai ratusan judul.
Kang Atang juga menciptakan seni tari baru yang kini menjadi milik masyarakat, yakni nyalawena (1991), kuda kosong (1996), dan pelung manggung (2001).
”Nyalawena sudah diakui sebagai kebudayaan khas masyarakat Sindangbarang (Cianjur bagian selatan). Kuda kosong dan pelung manggung juga diakui sebagai kesenian masyarakat Cianjur,” ceritanya.
Kursus gratis
Walaupun telah melampaui batas mimpi karena ia bisa bersilaturahim dan bertukar pengalaman dengan banyak seniman dari berbagai negara, Kang Atang mengaku masih prihatin.
”Kebudayaan dan tradisi kita justru lebih dihargai di negeri orang dibandingkan di negeri sendiri,” katanya.
Dia mencontohkan, ketuk tilu makin jarang dipentaskan kecuali dalam acara seremonial atau sendratari Sunda, padahal dulu ketuk tilu menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu masyarakat dalam berbagai hajatan, seperti pernikahan atau sunatan.
”Jangankan ketuk tilu, mamaos yang belum lama berkembang sebagai kebudayaan Sunda juga sudah mulai sulit ditemui,” ujarnya.
Kang Atang yang membaca gelagat tersebut kemudian mendirikan Yayasan Perceka Art Center pada tahun 1989. Tujuannya, membina anak-anak agar mencintai budaya Sunda dan membentuk karakter mereka seperti yang diteladankan nenek moyang. Itu, antara lain, dia lakukan dengan membuka kursus menari Sunda gratis di rumahnya, Jalan Suroso 58, Cianjur, Jawa Barat.
”Anak-anak yang mau berlatih di sini hanya saya minta menggunakan kain batik dan mau bersalaman dengan sesama anak lainnya. Tujuannya, memupuk rasa cinta terhadap budaya kita sendiri dan menghargai sesama di sekitarnya,” katanya.
Kang Atang termasuk ”keras” dalam mendidik anak-anak asuhnya. Pernah suatu saat anak-anak didiknya—yang sebagian berasal dari kalangan tak mampu—mengadakan acara ngaliwet atau masak-makan bersama.
”Tugas mencuci perlengkapan makan saya berikan kepada anak bupati. Dia sempat protes tangannya sakit karena tidak pernah mencuci. Tetapi, saya tidak peduli. Akhirnya, justru bapaknya (bupati) yang memberi pengertian,” ceritanya.
Kegelisahan Kang Atang atas kondisi seni tradisi Sunda yang kian terpinggirkan tidak mematahkan semangatnya untuk terus memompa semangat generasi muda. Baginya, kekuatan rakyat yang didominasi generasi muda adalah kekuatan tersembunyi yang suatu saat bisa terakumulasi.
”Seni adalah rasa. Suatu saat, rasa itu akan menyatu dan mengumpulkan kekuatan rakyat yang selama ini terpisah-pisah. Saya yakin, hanya penguasa yang bijaklah yang bisa membendung kekuatan rakyat itu agar tidak meledak, tetapi menjadi potensi kekuatan bangsa. Ini seperti negara lain yang kuat karena menghargai budayanya sendiri,” tegas Kang Atang.